Senin, 25 Mei 2020

LAPORAN PEMERIKSAAN DEFISIENSI ENZIM G6PD


LAPORAN PRAKTIKUM HEMATOLOGI III
PEMERIKSAAN DEFISISENSI ENZIM GLUKOSA -6- FOSFAT - DEHIDROGENASE (G6PD)

Description: IMG-20190326-WA0004

NAMA            : VIRA SAPUTRI
NIM                : 18 3145 353 083
KELAS           : 2018 C







PROGRAM STUDI DIV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
FAKULTAS FARMASI, TEKNOLOGI RUMAH SAKIT DAN INFORMATIKA
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
                                                                        2019/2020          
BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR  BELAKANG
Defisiensi G6PD merupakan penyakit defisiensi enzim tersering pada manusia, sekitar 2-3% dari seluruh populasi di dunia diperkirakan sekitar  ± 400 juta manusia di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi didapatkan daerah tropis, ditemukan dengan frekuensi yang bervariasi pada berbagai ras Timur tengah, India, Cina, Melayu, Thailand, Filipina dan Melanesia. Defisiensi G6PD menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia hemolitik akut di kawasan Asia Tenggara 14. Di Indonesia insidennya diperkirakan 1-14% 17,18, prevalensi defisiensi G6PD di Jawa Tengah sebesar 15% 19, di pulau-pulau kecil yang terisolir di Indonesia bagian Timur (pulau Babar, Tanimbar, Kur dan Romang di Propinsi Maluku), disebutkan bahwa insiden defisiensi G6PD adalah 1,6 - 6,7% (Satrio Wibowo, 2007) .
       Enzim G6PD mengkatalisis langkah pertama dalam jalur fosfat pentosa, glukosa mengkonversi ke ribosa-5-fosfat (gambar 1) dan melindungi sel terhadap stres oksidatif dalam bentuk NADPH. Defisiensi G6PD merupakan salah satu kelainan enzimatik herediter yang paling sering dari eritrosit manusia. Penelitian terbaru juga menyatakan bahwa aktivitas G6PD memainkan peran penting dalam mengontrol pertumbuhan sel melalui produksi NADPH (Khaterina, 2012) .
       Saat ini ditemukan sekitar 160 mutasi bersama dengan lebih dari 400 varian biokimia telah dijelaskan (Cappellini,2008). Varian G6PD oleh WHO telah diklasifikasikan ke dalam empat kategori   tergantung pada aktivitas residu enzim dan manifestasi klinis. Varian kelas I memiliki defisiensi enzim yang berat (kurang dari 10% dari normal) yang berhubungan dengan anemia hemolitik kronis non-spherocytic. Varian  kelas II juga memiliki defisiensi enzim berat (kurang dari 10% dari normal), varian kelas III memiliki defisiensi enzim ringan (10% sampai 60% dari normal). Varian  Kelas IV tidak memiliki defisiensi enzim (60% sampai 150% dari normal). Awalnya varian G6PD  ditandai secara biokimia menurut aktivitas enzim dalam eritrosit, mobilitas elektroforesis, Michaelis Konstan, pemanfaatan analog substrat dan termostabilitas (Khaterina, 2012) .
            Oleh karena itu yang melatar belakangi pemeriksaan kali ini yaitu untuk mengetahui prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
B.  TUJUAN
Adapun tujuan dilakukannya praktikum kali ini untuk mengukur kadar LDH yang terdapat pada sampel darah pasien.

























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
            Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase (G6PD) adalah enzim dalam lintasan Pentosa Fosfat yang mengkatalisis konversi Glukosa-6-fosfat menjadi 6fosfoglukono-δ-lakton dan menghasilkan koenzim Nikotinamid Dinukleotida Fosfat (NADPH) yang berfungsi sebagai tenaga pereduksi di dalam sel. Karena tidak memiliki mitokondria, lintas Pentosa Fosfat merupakan satu-satunya sumber penghasil NADPH dalam sel darah merah. Pada saat bereaksi G6PD menghasilkan NADPH dan atom hidrogen yang dibutuhkan oleh sel untuk mengaktifkan Glutation tereduksi (GSH) dari bentuk teroksidasinya (GSSG) melalui bantuan enzim Glutation reduktase. Glutation tereduksi esensial bagi sel berfungsi untuk menjaga bentuk sel tetap normal, menangkap radikal bebas dan  menjaga hemoglobin tetap dalam bentuk fero sehingga tetap mampu berfungsi sebagai pembawa oksigen (Dimas Ramadhian, 2013) .
            Enzim G6PD merupakan polipeptida yang terdiri atas 515 asam amino dengan berat molekul 59,265 kilodalton 15. Enzim G6PD merupakan enzim pertama  jalur  pentosa  phoshat,  yang  mengubah  glukosa-6-phosphat  menjadi  6-fosfogluconat pada proses glikosis. Perubahan ini menghasilkan Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH), yang akan mereduksi glutation teroksidasi (GSSG) menjadi glutation tereduksi (GSH). GSH berfungsi sebagai pemecah peroksida dan oksidan radikal H2O2 (Gambar 1) 10- 16. Dalam keadaan normal peroksida dan radikal bebas dibuang oleh katalase dan gluthatione peroxidase, selanjutnya meningkatkan produksi GSSG. GSH dibentuk dari GSSG dengan bantuan enzim gluthatione reductase yang  keberadaannya tergantung pada NADPH (Satrio Wibowo, 2007) .
            Enzim GSH berfungsi sebagai pemecah peroksida dan oksidan radikal H2O2 yang menjaga keutuhan eritrosit sekaligus mencegah hemolitik.11,12,19,20  Umumnya bayi dengan defisiensi G6PD tidak bergejala, hemolisis terjadi bila pasien terpapar bahan eksogen yang potensial menimbulkan kerusakan oksidatif antara lain obat-obatan, bahan kimia (naftalen, benzena ), dan infeksi (Kamila Budhi, 2008) .
            Gen Enzim terletak pada lengan panjang dari kromosom X (Xq28) dan lebih cenderung mempengaruhi laki-laki daripada perempuan dan lebih mengafeksi pria dibandingkan wanita karena lebih rentannya pria terhadap kondisi genetik yang terpaut kromosom X, seperti halnya defisiensi G6PD (Beutler 2008). Analisis-analisis klinis dan biokimia telah mengkarakterisasi lebih dari 400 varian yang kebanyakan disebabkan mutasi titik pada gen penyandi. Perubahan basa menghasilkan perubahan asam amino yang berbeda yang menyebabkan terjadinya perubahan fenotip dengan abnormalitas aktivitas enzim yang berbeda-beda dan diiringi dengan gejala klinis yang berbeda pula (Farhud dan Yazdanpanah 2008). Monomer  G6PD memiliki 515 asam amino dengan berat molekul 59 Kda dan hanya aktif dalam bentuk dimer atau tetramer yang juga berikatan NADP. Pelipatan antara 2 bentuk yang aktif bergantung pada pH . Agregasi dari monomer yang aktif dan konversinya menjadi bentuk yang aktif akan berpengaruh kepada keberadaan NADPH (Dimas Ramadhian, 2013) .
            Peranan enzim G6PD dalam mempertahankan keutuhan sel darah merah serta menghindarkan kejadian hemolitik, terletak pada fungsinya dalam jalur pentosa fosfat 13. Sel darah merah membutuhkan suplai energi secara terus menerus untuk mempertahankan bentuk, volume, kelenturan dan menjaga keseimbangan potensial membran melalui regulasi pompa natrium-kalium. Fungsi enzim G6PD adalah menyediakan NADPH yang diperlukan untuk membentuk kembali GSH, yang berfungsi menjaga keutuhan sel darah merah sekaligus mencegah hemolitik 10,12-16. Umumnya defisiensi G6PD tidak bergejala. Hemolisis terjadi bila penderita terpapar bahan eksogen yang potensial menimbulkan kerusakan oksidatif, yaitu : obat-obatan, bahan kimia, infeksi dan kacang fava (Satrio Wibowo, 2007) .
            Defisiensi Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase (G6PD) adalah penyakit genetik terpaut kelamin yang telah menyerang kurang lebih 400 juta orang di seluruh dunia dan mempunyai frekuensi yang tinggi di Afrika, Mediterranean, dan populasi Asia yang merupakan wilayah endemik malaria. Kelainan enzim yang pa1ing umum terjadi pada manusia ini menyebabkan bayi yang baru lahir berwarna kuning, yang dapat menyebabkan "kernicterus" dan kematian atau kelumpuhan. Kelainan ini juga dapat menyebabkan krisis hemolitik yang mengancam jiwa penderita apabila berinteraksi dengan obat-obatan tertentu atau kacang "fava" (Teresa Liliana, 2015) .
            Difisiensi G6PD adalah cacat enzimaatik karena mutasi gen G6PD, varian mutan gen ada 130 jenis mutan, penyakit ini bila terpapar oksidan, sel reitrosit mudah lisis (Suhartati, 2010) .
            Satrio Wibowo 2007, mengemukakan bahwa menurut Word Health Organization (WHO) membuat klasifikasi berdasarkan varian yang ditemukan di setiap negara, subtitusi nukleotid dan subtitusi asam amino yaitu 12, 16 :
Kelas I :Anemia hemolitik non sferositosis (aktifitas residual G6PD, <20).   Merupakan jenis defisiensi enzim G6PD yang jarang ditemukan. Kelompok ini mempunyai kelainan fungsional yang berat (varian Harilaou). Sel darah merah tidak mampu mempertahankan diri dari oksidan endogen, sehingga terjadi hemolisis kronik. Adanya pemaparan dengan faktor pencetus akan menyebabkan terjadinya eksaserbasi anemia hemolitik akut.
Kelas II :defisiensi berat (aktifitas residual G6PD, <10). Kelompok  defisiensi enzim G6PD berat (varian G6PD Mediteranian). Pemaparan dengan faktor pencetus (eksogen) akan menimbulkan hemolisis akut dan proses tersebut akan terus berlanjut selama masih terdapat pemaparan dengan faktor pencetus. Hal ini disebabkan rendahnya aktivitas enzim G6PD baik pada sel darah merah yang tua maupun muda.
Kelas III :defisiensi sedang (aktifitas residual G6PD, 10-60). Kelompok defisensi enzim G6PD ringan (varian G6PD A). Pada kelompok ini, hemolisis yang timbul akibat pemaparan dengan faktor pencetus akan berhenti dengan sendirinya walaupun pemaparan masih terus berlanjut. Hal ini disebabkan aktivitas enzim G6PD pada sel darah merah yang muda masih cukup tinggi untuk menahan oksidan, dan hanya sel darah merah yang tua saja yang mengalami hemolisis.
Kelas IV:non defisiensi (aktifitas residual G6PD, 100). Kelompok yang tidak mengalami gejala-gejala defisiensi G6PD
Kelas V  :non defisiensi (aktifitas residual G6PD, >100) 
       Sebagian besar individu defisiensi G6PD adalah asimtomatik sepanjang hidup mereka, dan tidak menyadari keadaan ini. Pada umumnya bermanifestasi sebagai anemia hemolitik akut, favism, neonatal jaundice, atau anemia kronis non-hemolitik sferositik. yang biasanya muncul ketika eritrosit mengalami stres oksidatif yang dipicu oleh zat oksidan  seperti obat-obatan, infeksi, atau mengkonsumsi kacang fava. Defisiensi G6PD  tampaknya tidak mempengaruhi angka harapan hidup, kualitas hidup  atau aktivitas individu. Beberapa gangguan klinis, seperti diabetes dan infark miokard dan latihan fisik berat, telah dilaporkan memicu hemolisis pada individu defisiensi G6PD; walaupun paparan bersama antara infeksi atau  oksidan obat dapat menyebabkan hal ini.  Mekanisme yang tepat yang meningkatkan sensitifitas terhadap kerusakan oksidatif menyebabkan hemolisis tidak sepenuhnya diketahui. penyebab hemolisis akut pada defisiensi G6PD ditandai dengan kelelahan, sakit punggung, anemia, dan jaundice.Peningkatan bilirubin tak terkonjugasi, laktat dehidrogenase,dan retikulositosis adalah marker kelainan tersebut (Khaterina, 2012) .
            Penyakit defisiensi G6PD adalah penyakit genetic, jadi idk menular tetapi dapat diwariskan pada keturunannya (penyakit keturunan). Pewarisan sifat keturunan yang terdapat didalam keluarga dengan defisiensi G6PD yang bersifat relative terkait kromosom X terutama dari kromosom X (garis ibu) sebagai pembawa. Kromosom X dan Y bertanggung jawab dalam penentuan seks atau jenis kelamin. Inti sel somatic pada pria mempunyai satu kromosom X dan satu kromosom Y dengan tanda XY, sedangkan pada wanita mempunyai dua kromosom X denngan tanda XX. Dalam keadaan sakit ditulis Xº, sedangkan normal sebagai X atau Y. pada penyakit defisiensi enzim ini yang menderita adalah X yang sifatnya resesif sehingga pria bila (XY) Hemizigot normal dan bila (XºY) Hemizigot penderita atau sakit. Pada wanita (XX) Hemozigot normal dan (XºX) heterozigot karier atau pembawa sedangkan (Xº Xº) Homozigot penderita adalah sakit (Suhartati, 2010) .


 BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. PRINSIP PERCOBAAN
Enzim G6PD mengkatalisis langkah pertama dalam jalur fosfat pentosa, glukosa mengkonversi ke ribosa-5-fosfat dan melindungi sel terhadap stres oksidatif dalam bentuk NADPH. Defisiensi G6PD merupakan salah satu kelainan enzimatik herediter yang paling sering dari eritrosit manusia. Penelitian terbaru juga menyatakan bahwa aktivitas G6PD memainkan peran penting dalam mengontrol pertumbuhan sel melalui produksi NADPH.
B. PRA ANALITIK
ALAT DAN BAHAN
1.      Alat
a)    Tabung reaksi
b)   Rak Tabung
c)    Mikropipet 
d)   Torniquet
e)    Stopwatch
2.      Bahan
a)    Spoit
b)   Natrium Sitrat 3,8%
c)    Plasma/Control
d)   Label
e)    Sodium Nitrat glucose solution 0,1 
f)    Alkohol swab 70%
g)   Tip
h)   Kertas Label
i)     Pot sampel 
j)     Methylene Blue 0.1 ml
C.  ANALITIK
CARA KERJA 
a)      Diambil darah dan di masukan kedalam tabung EDTA
b)      Diberi label pada masing- masing tabung
c)      Diberi control masing-masing kontrol1,2,dan 3
d)     Dipipet reagen 0,1 sodium nitrat glukosa solution ke masing-masing tabung
e)      Diberi Methylene Blue 0,1ml kedalam masing-masing tabung
f)       Dihomogenkan reagen dan sampel
g)      Dihomogenkan 2ml tabung yang berisi control
h)      Dicampurkan sampel darah dan reagen
i)        Dihomogenkan kembalu menggunkan tangan
j)        Dipipipet 2 ml negatif control dan di campurkan dengan reagen
k)      Diinkubasi dengan suhu 37°C selama 90 menit
l)        selanjutnya di inkubasi kembali selama 90 menit
m)    Di Homogenkan kembali
n)      Ditambahkan 2,ml  with distilled water dan di inkubasi
o)      Dimasukan sampel sebanyak 20 mikron kedalam Ve control
p)      Dihomogenkan kembali
q)      Ditambahkan 20 sampel micron pada tabung negatif control lalu homogenkan
r)       Ditambahkan 20 mikron liters test lalu dihomogenkan
D. PASCA ANALITIK
INTERPRESTASI HASIL
( contro Positif) : merah Tua
(control Negatif) : merah muda
(Test) : merah muda







 BAB IV
     HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PEMBAHASAN
            Pada praktikum yang dilakukan tentang pemeriksaan defisisensi enzim glukosa -6- fosfat - dehidrogenase (g6pd) yang bertujuan untuk mengukur kadar LDH yang terdapat pada sampel darah pasien.
Adapun prinsip dari praktikum kali ini yaitu Enzim G6PD mengkatalisis langkah pertama dalam jalur fosfat pentosa, glukosa mengkonversi ke ribosa-5-fosfat dan melindungi sel terhadap stres oksidatif dalam bentuk NADPH. Defisiensi G6PD merupakan salah satu kelainan enzimatik herediter yang paling sering dari eritrosit manusia. Penelitian terbaru juga menyatakan bahwa aktivitas G6PD memainkan peran penting dalam mengontrol pertumbuhan sel melalui produksi NADPH.
Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase (G6PD) adalah enzim dalam lintasan Pentosa Fosfat yang mengkatalisis konversi Glukosa-6-fosfat menjadi 6fosfoglukono-δ-lakton dan menghasilkan koenzim Nikotinamid Dinukleotida Fosfat (NADPH) yang berfungsi sebagai tenaga pereduksi di dalam sel. Enzim G6PD membantu sel darah merah tetap berfungsi normal dan menjaga sel darah merah dari senyawa berbahaya. Bila tubuh kekurangan enzim ini, sel darah merah akan pecah lebih cepat disbanding pembentukannya sehingga menyebabkan anemia.
Defisiensi enzim Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase (G6PD) adalah penyakit keturunann akibat kekurangan enzim G6PD. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki dan cacat enzimaatik karena mutasi gen G6PD, varian mutan gen ada 130 jenis mutan, penyakit ini bila terpapar oksidan, sel reitrosit mudah lisis.
Diagnosis defisiensi G6PD berdasarkan penilaian aktivitas enzim,secara kuantitatif dengan analisa spektrofotometri dari produksi NADPH dari NADP (Cappellini,2008), dipikirkan juga jika ditemukan hemolisis akut pada laki-laki ras afrika. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang kemungkinan terpapar dengan zat oksidan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Pemeriksaan aktivitas enzim mungkin false negative jika eritrosit tua defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu aktivitas enzim perlu diulang 2-3 bulan kemudian ketika ada sel-sel yang tua.
Pada pasien dengan defisiensi G6PD A (-), hemolisis terjadi self-limited sehingga tidak perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan hindari zat oksidan yang mencetuskan hemolisis serta mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis berat mungkin diperlukan transfusi darah
       Adapun prosedur pemeriksaan dari defisiensi enzim G6PD yaitu pertama-tama disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan yaitu sample darah sebanyak 3 tabung EDTA, tabung reaksi 3 buah, pada tabung 1 diberi code=Ve control, pada tabung 2 kontrol negative dan pada tabung 3 untuk test, selanjutnya sodium nitrit dihomogenkan terlebih dahulu, lalu dipipet sebanyak 0,1 ml dan di masukkan pada tabung control + Ve, dan 0.1 ml dimsukkan pada tabung untuk test. Selanjutnya dipipet methylane blue sebanyak 0.1 ml dimasukkan pada tabung yang berkode untuk test lalu dihomogenkan, dipipet sampel darah dengan menggunakan pipet eritrosit sebanyak 2 ml pada masing-masing tabung (control + Ve, control negative, dan pada test) dan masing-masing dan homogenkan, kemudiian diinkubasi pada suhu 37ºC selama 90 menit, setelah di inkubasi dihogenkan kembali pada masing-masing tabug, kemudian disediakan tabung sebanyak 3 lalu diencerkan dengan air suling sebanyak 2 ml, dipipet sampel dari tabung control + Ve sebanyak 20 mikron demasukkan pada tabung control + Ve, lalu dihomogenkan, dipipet control negativ sebanyak 20 mikron  dan dimasukkan pada tabung control negative lalu homogenkan, selanjutnya dipipet sampel dari tabung test sebanyak 20 mikron, dimasukkan pada tabung test yang berisi air dan homogenkan, lalu dilihat hasilnya.
       Adapun hasil yang didapatkan pada pemeriksaan enzim G6PD ini yaitu pada tabung control (+) Ve berwarna merah tua, (-) control berwarna merah muda, dan pada tabung (test) berwarna merah kecoklatan.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa hasil yang didapatkan yaitu didapatkan warna merah tua pada pada tabung +Ve control, warna merah muda pada negative control dan warna merah tua pada tabung test.
B. SARAN
Diharapkan pada praktikum selanjutnya praktikan dapat memahami prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan dan mempraktekkannya dengan baik dan lebih teliti serta mengefisienkan waktu dengan sebaik-baiknya juga selalu menggunakan APD pada saat sedang berada di dalam laboratorium. Serta dapat mencoba metode lain.


















DAFTAR PUSTAKA
Elgi Alfa Katherina, 2012. Defisiensi Glukosa-6-fosfat dehidrogenase  (G6PD)”. Malang: Skipsi Biokimia Kedokteran

Noor Ramadhian Dimas, 2013.“Karakterisasi Molekuler Defisiensi Enzim Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase Homo Sapiens Di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, Indonesia”. Bogor: Skripsi

Rahardjani Budhi Kamilah, 2008. Kadar  Bilirubin Neonatus dengan dan Tanpa Defisiensi Glucose­6­Phosphate Dehydrogenase yang Mengalami  atau Tidak Mengalami  Infeksi”. Semarang: Sari Pediatri. Vol.10, No.2

Suhartati, 2010.”Mewaspadai Difisiensi Glukosa6 Fosfat Dehidrogenase (G6PD) Dalam Upaya Mewujudkan Indonesia Sehat”. Surabaya: Pidato

Warga Setia Liliana Teresa, 2015. Varian Molekular Defisiensi Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase” Bandung: Universitas Kristen Maranatha. Vol.3, No.2

Wibowo Satrio, 2007.“Perbandingan Kadar Bilirubin Neonatus  Dengan Dan Tanpa Defisiensi Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase,  Infeksi Dan Tidak Infeksi”. Semarang: Tesis









Minggu, 03 Mei 2020

LAPORAN PEMERIKSAAN RETIKULOSIT


LAPORAN PRAKTIKUM HEMATOLOGI III
PEMERIKSAAN RETIKULOSIT

Description: IMG-20190326-WA0004

NAMA            : VIRA SAPUTRI
NIM                : 18 3145 353 083
KELAS           : 2018 C







PROGRAM STUDI DIV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
FAKULTAS FARMASI, TEKNOLOGI RUMAH SAKIT DAN INFORMATIKA
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
                                                                        2019/2020          


BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR  BELAKANG
Darah adalah kendaraan untuk transport masal jarak jauh dalam tubuh untuk berbagai bahan antara sel dan lingkungan eksternal antara sel-sel itu sendiri. Darah terdiri dari cairan kompleks plasma tempat elemen selular diantaranya eritrosit, leukosit, dan trombosit. Eritrosit (sel darah merah) pada hakikatnya adalah kantung hemogoblin terbungkus membran plasma yang mengangkut O2 dalam darah. Leukosit (sel darah putih) satuan pertahanan sistem imun, diangkut dalam darah tempat cedera atau tempat invasi mikro organisme penyebab penyakit. Trombosit penting dalam homeostasis, penghentian pendarahan dari pembuluh yang cedera. Jika darah mengalami gangguan, maka segala proses metabolisme tubuh akan terganggu pula (Khairil dan Sutikno, 2016).
Menurut Made pada tahun, 2016, darah terdiri atas 2 komponen utama, yaitu:
1.    Plasma darah :  Bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air, elektrolit dan protein darah.
2.    Butri- butir darah (Blood Corpucles), yang terdiri atas, eritrosit sel darh merah (SDM) –red blood cell (RBC) dan lekosit sel darah putih (SDP)- white blood cell (WBC) dan trombosit butir pembeku platelet.
Retikulosit adalah sel yang dapat dilihat dengan pewarnaan supravital yang mewarnai asam nukelat dan harus mempunyai lebih dari 2 granula yang dapat dilihat dengan mikroskop cahaya dan granula tersebut tidak boleh berada di tepi membran sel. Pewarnaan supravital yang dapat digunakan adalah larutan Brilliant Cresyl Blue, New Methylene Blue, Azure B, Acridine orange untuk metoda visual dan zat warna fluorokrom seperti Thiazole orange, Auramine O, Oxazine dan Polymethine yang bisa digunakan pada metode otomatik. retikulosit dapat diperiksa dengan cara manual dan otomatik (Prof. dr.Riandi, 2010) .
Manfaat hitung retikulosit membantu dokter untuk mengetahui aktifitas dari eritropoesis. Bila meningkat akan disertai dengan peningkatan jumlah retikulosit absolut dan nilai IRF. Hal ini terjadi pada eritropoesis yang efektif. Pada eritropoesis yang tidak efektif, peningkatan IRF tidak disertai dengan meningkatnya jumlah retikulosit absolut (Prof. dr.Riandi, 2010) .
Oleh karena itu, dilakukanlah pemeriksaan retikulosit, dimana untuk mengetahui apakah ada penyakit-penyakit dan untuk mengukur jumlah sel darah merah muda dalam volume darah tertentu serta mempelajari prosedur kerja dari pemeriksaan agar bisa lebih dipahami.
B.  TUJUAN
Untuk mengukur jumlah sel darah merah muda dalam volume darah tertentu.




















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Darah merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi manusia. Di dalam darah terkandung berbagai macam komponen, baik komponen cairan berupa plasma darah, maupun komponen padat berupa sel-sel darah. Hematologi merupakan salah satu ilmu kedokteran yang mempelajari tentang darah dan jaringan pembentuk darah. Di dalam darah mengandung sel-sel darah serta cairan yang di sebut plasma darah yang berisi berbagai zat nutrisi maupun substansi lainnya. Sekitar 55 % darah merupakan komponen cairan atau plasma, sisanya yang 45% dalah komponel sel-sel darah. Komponen sel-sel darah yang paling banyak adalah sel darah merah atau eritrosit yaitu sejumlah 41% (Novi, 2018) .
Darah memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai transportasi darah, mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel-sel tubuh untuk metabolisme. Karbon dioksida yang dihasilkan selama metabolisme dibawa kembali ke paru-paru oleh darah, di mana ia kemudian dihembuskan keluar. Darah juga menyediakan sel-sel nutrisi, mengangkut hormone dan membuang produk li/mbah dari hati, ginjal atau usus. Regulasi, Darah membantu menjaga keseimbangan tubuh. Misalnya, memastikan suhu tubuh tetap terjaga. Hal ini dilakukan baik melalui plasma darah, yang bisa menyerap atau mengeluarkan panas, serta melalui kecepatan aliran darah. Saat pembuluh darah melebar, darah mengalir lebih lambat dan ini menyebakan panas hilang. Bila suhu lingkungan rendah maka pembuluh darah bisa berkontraksi, sehingga sesedikit mungkin panas bisa hilang. Perlindungan, Jika pembuluh darah rusak, bagian tertentu dari gumpalan darah bersatu dengan sangat cepat memastikan bagian luka berhenti berdarah. Inilah cara tubuh terlindungi dari kehilangan darah. Sel-sel darah putih dan zat pembawa lainnya juga berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh (Widiastuti, 2019) .
   Sel darah darah merah (eritrosit) tidak memiliki inti sel, eritrosit  mempunyai kandungan protein hemoglobin, yang mengangkut sebagian besar oksigen dari paru ke seluruh sel tubuh. Sel eritrosit diproduksi di sumsum tulang. Eritrosit terbentuk melalui beberapa tahapan yaitu pembelahan dan perubahan morfologi sel-sel berinti dimulai dari proeritoblas sampai ortokromatik eritroblas, kemudian membentuk eritrosit tidak berinti yang disebut retikulosit dan akhirnya menjadi eritrosit (Yesinta, 2016) .
            Retikulosit adalah Sel Darah Merah (SDM) yang masih muda yang tidak berinti dan berasal dari proses pematangan normoblas di sumsum tulang .Sel ini mempunyai jaringan organela basofilik yang terdir  dari RNA dan protoforpirin yang dapat berupa endapan dan berwarna biru apabila di cat dengan pengecatan bi ru metlin. Retikulosit akan masuk ke sirkulasi darah tepi dan bertahan kurang lebi h selama 24 jam sebelum akhirnya mengalami pematangan menjadi eritrosit (Ketut, 2010) .
      Retikulosit biasanya berada di darah selama 24 jam sebelum mengeluarkan sisa RNA dan menjadi sel darah merah. Apabila retikulosit dilepaskan secara dini dari sumsum tulang, retikulosit imatur dapat berada di sirkulasi selama 2-3 hari (Zefika, 2019) .
        Retikulosit yang sangat muda (imatur) adalah retikulosit yang di lepaskan ke darah tepi akibat adanya rangsangan akibat anemia dan hal ini di sebut stress edreticulocyte. Retikulosit jenis ini mempunyai masa hidup invivo yang lebih pendek apabila di tranfusi kan kedalam resipien normal dan secara umum di anggap sel ini tidak normal karena tidak melalui perkembangan sel yang normal sampai kedivisi terminal dari perkembangan. Diperkirakan waktu pemat angan r etikulosit adalah berkisar antara 2–5 jam, tergantung metode yang di pakai, spesi es yang di pelajari dan juga tingkat stimulasi Proses eritropoesis tersebut. Faktor yang menent ukan kapan retikulosit keluar dari sumsum tulang kesirkulasi masih belum jelas di ketahui (Ketut, 2010) .
         Tingkat maturitas retikulosit dapat menjadi indikator klinis aktivitas eritropoetik serta informasi tambahan yang berguna di samping nilai hitung retikulosit. Peningkatan retikulosit imatur umumnya terjadi pada regenerasi sumsum tulang pasca kemoterapi atau transplantasi sumsum tulang dan pasca terapi anemia sehingga dapat digunakan untuk mengikuti hasil pengobatan anemia7. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan massa eritrosit dengan akibat oksigenasi jaringan tidak dapat terpenuhi. Beberapa jenis anemia yang ada pada pasien tuberkulosis yaitu anemia penyakit kronis, merupakan salah satu penyebab tersering anemia pada penderita. Anemia penyakit kronis ditemukan pada 72 % penderita tuberkulosis yang mengalami infiltrasi ke sumsum tulang (Sri Aprilianti, 2018) .
      Jumlah retikulosit normal ada pada darah tepi karena dalam proses penuaan eritrosit terjadi penurunan lambat metabolisme eritrosit. Banyak enzim memperlihatkan penurunan fungsi, dan sel menjadi lebih peka terhadap lisis osmotik. Sekitar 1 % sel darah merah disingkirkan setiap hari oleh system retikuendotel (RES). Sel-sel ini diganti oleh retikulosit dari sumsum tulang. Tubuh yang kehilangan darah akan menimbulkan respon  eritropoetin yang diatur oleh hormon eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal dalam enam jam, dan hitung retikulosit naik dalam 2 sampai 3 hari dan mencapai puncaknya 4 sampai 7 hari. Angka ini akan tetap tinggi sampai kadar hemoglobin kembali normal. Hitung retikulosit yang tidak meningkat pada seseorang memberi dugaan terganggunya  fungsi sumsum tulang atau kurangnya rangsangan eritropoeitin (Yane Liswanti, 2015) .
          Hitung reikulosit merupakan komponen penting dari pemeriksaan darah lengkap yang relative akuurat, sedehana, dan praktis untuk menggambarkan jumlah produk eritrosit oleh sistem eritropoetik sehingga dapat dikerjakan dilaboratorium yang relative sederhana. Gambaran retikulosit sedarhana  sesungguhnya oleh sumsum tulang ditunjukkan dengan nilai IPR yang dihitung dengan cara koreksi 2 tahap hitung retikulosit. Koreksi pertama adalah terhadap derajat anemia penderita yang digambarkan dengsn rasio hematocrit (Ht) disbanding normal, dan koreksi kedua adalah terhadap wakru pematangannya di darah tepi yang memanjang karena pelepasan retikulosit sumsum tulang terjadi lebih awal (Setyawati, 2005) .
       Pemeriksaan hitung retikulosit dilakukan secra manual menggunakan pengecetan supravital dengan brilliant crecyl blue. Jumlah retikulosit dihitung di bawah mikroskop (menggunakan “jendela” ocular manual) dalam 1000 eritrosit kemudian kemudian di konversi dalam persen. Retikulosit di identifikasi sesuai standar hitung manual yaitu eritrosit tidak berinti yang mengandung 2 atau lebih partikel tercat biru sebagai presipitasi substansi RNA ribosomal (Setyawati, 2005)
        Hitung retikulosit dapat berupa persentasi sel darah merah, hitung retikulosit absolut, hitung retikulosit absolut terkoreksi, atau reticulocyte production indeks. produksi sel darah merah efektif merupakan proses dinamik. Hitung retikulosit harus dibandingkan dengan jumlah yang di produksi pada penderita tanpa anemia. Rumus hitung retukulosit terkoreksi = [{(% retikulosit penderita x hamtokrit)45}/Faktor koreksi] (Ari Sutjahjo,2015) .
         Hitung retikulosit yang meningkat pada kadar hemoglobin yang normal menunjukkan bahwa sel darah merah sedang mengalami kerusakan atau hilang, tetapi sumsum tulang telah meningkatkan produksi eritrosit untuk mengkompensasi kebutuhan tubuh. Pada kadar hemoglobin yang rendah, hitung retikulosit 0,5% sampai 2,5% mengisyaratkan bahwa respon terhadap anemia tidak memadai. Hal ini dapat terjadi akibat gangguan atau penurunan produksi sumsum tulang atau penurunan kadar eritropoietin (Zefika, 2019) .
















BAB III
METODE PENELITIAN
A.  Waktu
          Adapun waktu yang dilaksanakannya peda praktikum Hematologi III kali ini  yaitu :
Hari      : Sabtu
Tanggal : 25 April 2020
Pukul    :18.00-10.00 WITA. 
B.  Alat Dan Bahan
     1.Alat
a.    Mikroskop
b.    Mikropipet 50ml + Tips kuning
c.    Tabung Reaksi 12x75mm
d.   Kaca objek
     2. Bahan
a.     Darah EDTA
b.    Larutan BCB (Briliant Cresyl Blue)
c.     Oil Emersi
C. Prinsip Kerja
              Setelah eritrosit muda kehilangan intinya, ada sedikit sisa RNA pada sel darah merah dan sel itu disebut retikulosit untuk mengetahui adanya RNA maka sel darah merah harus diperiksa pada saat masih hidup (vital) sehingga proses pengecetan ini disebut pengecatan supravital.
     D. Pra-Analitik
1.  Persiapan Pasien :
Tidak memerlukan persiapan khusus
2. Persiapan  Sampel :
 Tes sebaiknya   dilakukan dalam waktu kurang dari 2 jam darah dimasukkan kedalam   tabung EDTA
E. Analitik
1.   Disiapkan darah EDTA ±2cc
2.   Dipipet 50ml larutan BCB, Masukkan dalam tabung reaksi
3.   Dipipet 50ml darah EDTA dan homogenkan bersama larutan BCB
4.   Diinkubasi campuran larutan  tadi selama 15-20’ pada suhu 37 derajat
5.   Dibuat apusan dari campuran larutan seperti apusan darah tipis
6.   Dikeringkan dan lansung dibacaa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x
7.   Diitung jumlah retikulosit dalam 1000 eritrosit.
F. Pasca Analitik
1.   Dewasa : 0.5 - 1.5 %
2.   Bayi baru lahir : 2.5 - 6.5 %
3.   Bayi : 0.5 - 3.5 %
4.   Anak : 0.5 - 2.0 %























BAB IV
     HASIL DAN PEMBAHASAN
Text Box:  A. HASIL
           

Pada praktikum pemeriksaan







B. PEMBAHASAN
       Pada praktikum yang dilakukan tentang pemeriksaan retikulosit menggunakan metode pewarnaan supravital. Sampel darah dicampur dengan larutan brillian cresyl blue (BCB) atau new methylene blue maka ribosom akan terlihat sebagai filament berwarna biru. Jumlah retikulosit di hitung per 1000 eritrosit dan dinyatakan dalam %, jadi hasilnya dibagi 10. Pemeriksaan ini untuk mengukur jumlah sel darah merah muda dalam volume darah tertentu.
                      Adapun prinsip dari praktikum kali ini yaitu Setelah eritrosit muda kehilangan intinya, ada sedikit sisa RNA pada sel darah merah dan sel itu disebut retikulosit untuk mengetahui adanya RNA maka sel darah merah harus diperiksa pada saat masih hidup (vital) sehingga proses pengecetan ini disebut pengecatan supravital.
             Retikulosit adalah Sel Darah Merah (SDM) yang masih muda yang tidak
berinti dan berasal dari proses pematangan normoblas di sumsum tulang. Sel ini mempunyai jaringan organela basofilik yang terdiri dari RNA dan protoforpirin yang dapat berupa endapan dan berwarna biru apabila dicat dengan pengecatan biru metilin. Retikulosit akan masuk ke sirkulasi darah tepi dan bertahan kurang lebih selama 24 jam sebelum akhirnya mengalami pematangan menjadi eritrosit.
             Hitung retikulosit sering digunakan sebagai ukuran produksi eritroid oleh
sumsum tulang. Sel normal beredar sebagai retikulosit selama 1-2 hari dan sebagai eritrosit matang selama 120 hari. Bila kadar hemoglobin normal, terdapat 0,5-2,5%retikulosit menunjukan aktifitas sumsum tulang yang normal, apabila sumsum tulang sehat dan memiliki simpanan besi dan prekusor lain yang memadai, derajat retikulositosis sejajar dengan derajat kehilangan darah atau destruksi sel darah merah
    Penghitungan retikulosit dapat menggunakan dua cara, yaitu dengan
Metode basah dan metode kering;
a. Metode basah
Pemeriksaan retikulosit dengan metode basah adalah darah vena dengan
antikoagulan EDTA, diencerkan dengan larutan yang mengandung Brilliant Cresyl Blue dalam Methanol atau Natrium Klorida dan tanpa di inkubasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan retikulosit dengan zat warna supravital tanpa diinkubasi.
b. Metode Kering
Pemeriksaan retikulosit dengan metode kering adalah darah vena dengan
antikoagulan EDTA diencerkan dengan larutan yang mengandung Brilliant Cresyl Blue dalam Natrium Klorida atau dapat jua menggunakan New Methylene Blue, kemudian di inkubasi pada suhu 370 C selama 10-30 menit, sehingga retikulosit pada mikroskop tampak berwarna biru dengan filamen atau granula berwarna biru tua dan kemudian dilakukan pemeriksaan retikulosit.
      Peningkatan jumlah retikulosit yang di sertai kadar HB normal mengindikasikan adanya penghancuran atau penghilangan eritrosit berlebihan yang diimbangi dengan peningkatan sumsum tulang. Peningkatan retikulosit disertai dengan kadar HB yang rendah menunjukkan bahwa respon tubuh terhadap anemia tidak adekuat. Penyakit yang disertai peningkatan jumlah retikulosit antara lain anemia hemiliti, anemia sel sabit, tlasemia mayor, leukemia, eritroblastik feotalis, HBC dan D positif, kehamilan, dan kondisi pasca pendarahan berat.
   Penurunan jumlah retikulosit yang seharusnya tinggi terjadi pada krisis aplastic yaitu kejadian diamana deskruksi eritrosit tetap berlansung sementara produksi eritrosit terhenti, misalnya pada anemia hemilitik kronis karena HBS, anemia pernisiona, anemia difisiensi asam fola, anemia aplastic, terapi radiasi, hipofungi andenocotical, hipofungi hipifise anterior, dan tirosis hati.
    Adapun hasil yang didapatkan dalam praktikum kali ini yaitu di dapatkannya retikulosit pada sedian. Dimana nilai rujukannya yaitu:
1.    Dewasa: 0.5 - 1.5%
2.    Bayi baru lahir: 2.5 - 6.5%
3.    Bayi: 0.5 – 3.5%
4.    Anak: 0.5 – 2.0%
       Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium yaitu:
1.    Bila hematokritnya rendah maka perlu ditambahkan darah
2.    Cat yang tidak disaring menyebabbkan pengendapan cat pada sel-sel eritrosit sehingga terlihat seperti retikulosit
3.    Menghitung di daerah yang terlalu padat
4.    Peningkatan kadar glucose akan mengurangi pewarnaan













BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa hasil yang didapatkan yaitu ditemukannya retikulosit pada sediaan yang telah diwarnai dan di periksa di bawah mikroskop.
B. SARAN
Diharapkan pada praktikum selanjutnya praktikan dapat memahami prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan dan mempraktekkannya dengan baik dan lebih teliti serta mengefisienkan waktu dengan sebaik-baiknya juga selalu menggunakan APD pada saat sedang berada di dalam laboratorium. Serta dapat mencoba metode lain.



















DAFTAR PUSTAKA
Barta, Made. 2017. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC

Fitriyadi, K dan Sutikno. 2016. Pengenalan Jenis Golongan Darah Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Perceptron. Semarang: Jurnal Masyarakat Informatika.

Firani, Novi Khila. 2018. Mengenali Sel-Sel Darah dan Kelainan Darah. Malang: Tim UB Press.
Idris Aprilianti Sri, 2018. Gambaran Retikulosit Terhadap Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (Oat) Pada Pasien Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Perumnas Kadia Kota Kendari”. Kendari: Mediatory. Vol.6, No.1

Ifana Lutfi Zefika dan Lucia S. Gunawan, 2019. Perbedaan Jumlah Retikulosit Sebelum dan Sesudah  Pemberian Tablet Tambah Darah”. Surakarta: Jurnal Biomedika. Voi.12, No.12

Kurniawati Yesinta, 2016. Toksisitas Subkronis Tablet Fraksi Ea-96 Herba Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees)Pada Hati Dan Ginjal Tikus Wistar”. Surabaya: Skripsi

Liswanti Yane dan Firda Nur Arifah, 2015. Gambaran Jumlah Retikulosit Sebelum Dan Setelah Donor Darah”. Tasikmalaya: Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. Vol.13, No.1

Prof. Dr. Riadi Wirawan, 2010. Retikulosit”. Tangerang

Setyawati,dkk. 2005.”Indeks Produksi Retikulosit Pada Berbagai Klasifikasi Anemia”. Yogyakarta: Jurnal Berkela Ilmu Kedokteran. Vol.37, No.1

Soega Ketut, 2010. Aplikasi Klinis Retikulosit”. Jakarta: Jurnal Umum

Sutjahjo Ari, 2015.”Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Dalam”. Surabaya: Airlangga University Press

Widiastuti, 2019. Gambaran Hasil Pemeriksaan Darah Rutin (Trombosit Dan Hemoglobin) Pada   Mahasiswa Jurusan Analis  Kesehatan Poltekkes  Kendari”. Kendari: Karya Tulis Ilmiah










LAPORAN PEMERIKSAAN DEFISIENSI ENZIM G6PD

LAPORAN PRAKTIKUM HEMATOLOGI II I PEMERIKSAAN DEFISISENSI ENZIM GLUKOSA -6- FOSFAT - DEHIDROGENASE (G6PD) NAM A             : VI...